Pagar Seng Berdiri di Atas Fasum dan RTH, Warga Central Park Kembali Mengamuk

oleh -321 views
Foto FASUM dan RTH saat di pagar oleh PT Bangun Makmur Sejati (BMS)

Batam, informasi jurnalis – Pemasangan pagar seng oleh PT. Bangun Makmur Sejati (BMS) kembali memicu amarah warga Komplek Ruko Central Park, Kelurahan Tanjung Uma, Kecamatan Lubuk Baja, Kota Batam.

Pemagaran yang dilakukan oleh PT BMS tersebut warga menolak keras adanya pembangunan yang berdiri di atas lahan yang mereka yakini merupakan fasilitas umum (fasum) dan ruang terbuka hijau (RTH).

Aksi penolakan ini merupakan lanjutan dari polemik panjang yang belum menemukan titik terang. Warga menilai tindakan sepihak dari pengembang semakin memperparah keadaan.

“Kami sudah sampaikan penolakan sejak awal, kenapa masih dipaksakan, Ini tanah ruang terbuka hijau, bukan area komersial,” Ucap warga setempat kepada media ini, Jumat (27/6/2025).

Ia mengatakan Terkait pemagaran lahan yang dilakukan oleh pihak PT tersebut, bahwa warga siap akan membongkar paksa pagar seng jika pembangunan tetap berlanjut.

Sementara, Pemasangan pagar dimulai pada hari rabu (25/6/2025) namun, langsung menuai protes keras. Warga menilai alih fungsi lahan sebagai tindakan melanggar aturan tata ruang dan merugikan masyarakat secara langsung.

“Kalau dibangun, di mana lagi kami bisa menikmati ruang terbuka? Ini satu-satunya lahan kosong yang tersisa,” ucap seorang warga saat menyaksikan proses pemasangan.

Ketua Umum Aliansi LSM Ormas Peduli Kepri, Ismail, menyebut akar permasalahan ini bermula dari revisi fatwa planologi oleh BP Batam yang ditandatangani oleh pejabat BP Batam bernama Fresley,

Dimana Fesley sebelumnya ia menjabat sebagai Direktur Perencanaan Infrastruktur. 
mempertanyakan legalitas dan etika dari keputusan tersebut, yang secara drastis mengubah peruntukan lahan dari fasum dan RTH menjadi kawasan komersial.

“Dalam aturan sebelumnya, dari satu hektare lahan, maksimal hanya 60 hingga 70 persen boleh dibangun. Sisanya wajib menjadi RTH dan fasum. Revisi ini jelas bertentangan dengan prinsip tata ruang dan keadilan sosial,” tegas Ismail.

Ismail juga menyoroti dampak sosial yang ditimbulkan. Ia menyatakan warga sekitar, terutama pemilik ruko, sangat merasa dirugikan karena perubahan fungsi lahan tidak pernah dikonsultasikan. ia menyebut tidak ada rekomendasi dari warga komplek atas proyek pembangunan tersebut.

“Lahan kosong ini penting untuk evakuasi dan darurat. Jika terjadi kebakaran, lahan ini bisa digunakan sebagai akses mobil pemadam. Pengalihfungsian ini sangat merugikan,” tegasnya.

Lebih jauh, ia menuding adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum di tubuh BP Batam. Ia mendesak Kepala dan Wakil Kepala BP Batam, Amsakar dan Li Claudia, untuk turun tangan membenahi dugaan penyimpangan ini.

Ismail juga menyampaikan rencana mereka untuk membawa persoalan ini ke DPRD Batam melalui mekanisme Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I dan III yang membidangi persoalan hukum dan lingkungan.

“Pemasangan seng ini jelas melanggar dan tidak bisa dibiarkan. Kami akan tempuh jalur konstitusional,” ujarnya.

Dari sisi hukum dan tata ruang, warga menilai keputusan BP Batam sangat tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mewajibkan minimal 30 persen suatu kawasan diperuntukkan bagi ruang terbuka hijau.

Jika pembangunan tetap dipaksakan, kata dia, maka Komplek Central Park akan kehilangan salah satu unsur vital ekosistem kota.

“Ini bukan sekadar pagar, ini soal hak hidup warga dan lingkungan,” katanya.

Ismail juga menutup dengan peringatan yang keras terkait pemagaran lahan RTH yang dilakukan oleh PT BMS tersebut. Bahkan, menurut Ismail,
Kebijakan seperti ini hanya akan menciptakan konflik horizontal dan ketidakadilan yang dalam.

“Kami minta BP Batam segera mencabut revisi fatwa tersebut dan kembalikan fungsi lahan sesuai peruntukannya. Ini demi kepentingan bersama, bukan segelintir pemilik modal.” Katanya (*)

editor Jihan.

No More Posts Available.

No more pages to load.